Cetak

Indonesia Posisikan Tiongkok sebagai Peluang dan Ancaman

Gubernur Lemhannas RI, Andi Widjajanto menjadi narasumber pada webinar “Kepemimpinan Indonesia di Tengah Rivalitas AS dan Tiongkok dan Proyeksi Tata Dunia Baru dalam Perspektif Geopolitik dan Keamanan” secara daring pada Senin (04/04). Webinar ini diselenggarakan oleh Graduate School of Diplomacy Universitas Paramadina.

 

Webinar tersebut mendiskusikan rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta kondisi geopolitik di antara kedua negara tersebut. Gubernur Andi mencermati bahwa Indonesia adalah prioritas tinggi bagi Amerika Serikat, sebaliknya bagi Tiongkok Indonesia berada pada prioritas menengah, juga terdapat ambiguitas dimana Indonesia memposisikan Tiongkok sebagai peluang dan ancaman.

 

”Alutsista Indonesia sebagain besar masih berada pada blok NATO. Persepsi Indonesia terhadap Tiongkok sebagai ancaman, tapi peluang kerjasama untuk mengembangkan ekonomi Indonesia juga signifikan, jadi terlihat ambigu,” kata Gubernur Andi.

 

“Dalam Bahasa gepolitik, geopolitical interest-nya Amerika Serikat lebih besar di Indonesia, daripada geopolitical interest-nya Tiongkok,” lanjut Gubernur Andi. Kepentingan geopolitik Tiongkok secara global masih ada di Asia Timur. “Gepolitik Tiongkok cenderung bergerak ke arah Samudera Timur yang mengarah ke Jibouti, mengarah ke negara-negara di Asia Tengah,” ungkap Andi WIdjajanto. Bagi AS, dari berbagai aspek, negara Indonesia, Filipina, Singapura, dan Vietnam  memiliki priorirtas tinggi untuk Amerika Serikat.

 

Gubernur Lemhannas yang juga ahli militer tersebut melihat hubungan antara AS dan Tiongkok selama 73 tahun justru terakhir cenderung meningkat. “Sepanjang tahun 1949 hingga 2022, relasi antara AS dan Tiongkok cenderung bagus, hubungan keduanya berbentuk regresi linear, cenderung menaik dan membaik,” ungkap Gubernur Andi.

 

Gubernur Andi dalam hal tersebut juga memaparkan skenario interaksi antara Amerika Serikat terhadap Tiongkok, yaitu Skenario Persaingan Damai dan Konflik Militer. Skenario presaingan damai bertujuan untuk mendorong negara mitra mendukung Amerika serikat di isu strategis, sementara pada skenario konflik militer bertujuan untuk mengalahkan tiongkok secara politik dan militer. Dalam persaingan damai, keluarannya adalah tidak ada pemenang tunggal, AS terus memperoleh dukungan militer dalam berbagai dinamika strategis global, sementara dalam keluaran konflik militer yaitu terwujud kemenangan telak AS baik secara politik maupun militer.

 

Dalam konflik militer dari friksi yang terjadi antara AS dan Tiongkok, Indonesia justru mengkhawatirkan kalau friksi yang terjadi singkat. “Artinya kalau friksi yang terjadi dalam waktu singkat ada gelar teknologi yang signfikan, sehingga negara-negara tersebut menjadikan one battle determined the result. Ini sesuai dengan amanat Presiden Jokowi pada HUT ke-75 tahun TNI yang mengingatkan untuk berhati-hati dalam karakter perang yang high technology, high level destruction,” terang Gubernur Andi.

 

Selain hal di atas, Gubernur Lemhannas juga membahas titik terendah hubungan antara AS dan Tiongkok, adalah saat peristiwa Tiananmen (1989) dan ketika NATO dalam operasinya di  bekas Yugoslavia membom kedutaan TIongkok (1999), serta pada perang Korea pada tahun 1951- 1953.  “Trendline antara 2001 hingga 2021 bisa dilihat cenderung mendatar tidak ada perkembangan yang signifikan. Amerika Serikat dan Tiongkok terlihat cenderung mendatar,” papar Gubernur Andi.

 

Terdapat kecenderungan persaingan antara AS dan Tiongkok di Asia Timur. “Akan tetapi secara de facto, kekuatan Tiongkok adalah negara terkuat di Asia Timur,” kata lulusan National Defense University di Washington D.C. Kekuatan Tiongkok ini dapat dilihat dari gelaran belanja pertahanan dan dari faktor energi dan FDI. Kalau dilihat belanja gelar pertahanan Tiongkok sangat jauh dibanding dengan AS.

 

Bila dicermati, belanja Amerika Serikat dikerahkan untuk level global, sementara Tiongkok hanya pada level Asia Timur saja. “AS mengalami Imperial Overstretch. Sebagaimana yang disebutkan Paul Kennedy, satu-satunya cara negara hegemoni mengatasi Imperial Overstretch adalah dengan inovasi. Ketika gagal melakukan inovasi, maka konsekuensinya adalah the fall of great power.  Ini terlihat di dunia ketika 1979, Amerika Serikat mengalami imperial overstretch. “Dan Tiongkok belum mengalami, bisa terus melakukan inovasi untuk membangun dan menggelar kekuatannya di Asia Timur,” lanjut Gubernur Andi.