Gubernur Lemhannas RI Menjadi Narasumber Pada Sekolah Etik Indonesia

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjadi narasumber pada Sekolah Etik Indonesia yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Minggu (18/4). Pada kesempatan tersebut, Agus mengangkat topik Ketahanan Nasional dalam Perspektif Kebhinekaan Untuk Pembangunan RI Pada Era Kini dan Mendatang.

“Kita sudah ditakdirkan sebagai bangsa yang bercirikan kebhinekaan,” kata Agus. Hal tersebut merupakan keniscayaan yang memerlukan respons dalam tata cara hidup bersama. Menurut Agus, bangsa Indonesia beruntung karena para pendiri bangsa sudah membangun bangsa dengan kesepakatan, salah satunya sepakat menggunakan bahasa Indonesia.

“Kita memiliki keberagaman suku bangsa, etnik, agama,” ujar Agus. Lebih lanjut Agus menyampaikan bahwa hidup sebagai bangsa yang Bhinneka memang tidak mudah. Oleh karena itu, kesepakatan-kesepakatan harus terus ditumbuhkembangkan agar bisa terus hidup berdampingan. Menurut Agus, bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dan negara berdasarkan kesepakatan. “Tidak ada cara hidup kita yang didasarkan kepada perimbangan mayoritas minoritas,” tutur Agus.

“Ketahanan yaitu kemampuan untuk kembali kepada bentuk asalnya untuk menghadapi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan tertentu,” kata Agus. Pada kesempatan tersebut, Agus menekankan bahwa ketahanan memiliki arti pada lingkup sempit dan harus spesifik. Ketahanan juga tidak didapatkan dengan menghancurkan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, namun ketahanan didapatkan dengan memperkuat diri.

Agus berpendapat bahwa ketahanan dapat didefinisikan sebagai kapasitas suatu entitas untuk menghadapi kerawanan potensial dan memperlemah probabilitas terjadinya krisis dan meningkatkan kapasitas yang lebih luas untuk menghadapi guncangan. “Dari perspektif kebijakan, menjadi penting untuk memahami faktor-faktor yang membangun ketahanan suatu negara dalam menghadapi guncangan ekstrem,” kata Agus.

Lebih lanjut, Agus menjelaskan bahwa ketahanan pada tingkat nasional dapat dikatakan sebagai kemampuan masyarakat untuk menghadapi keadaan sulit dengan melakukan perubahan dan penyesuaian serta menyerap kesulitan atau perubahan yang diakibatkan oleh ancaman. Agus juga menyampaikan bahwa kemampuan ketahanan suatu masyarakat dapat dilihat dari cerminan kemampuan masyarakat tersebut untuk bertahan terhadap kesulitan dengan mempertahankan segenap institusi dan nilai yang dimiliki dan melakukan penyesuaian dalam cara baru dan inovatif. Sikap serta persepsi sosial dan politik juga ditemukan berpengaruh terhadap kemampuan bangsa untuk bertahan menghadapi situasi krisis atau konflik.

“Ketahanan nasional itu bukanlah sebuah disiplin ilmu tunggal,” kata Agus. Agus menjelaskan bahwa dalam membangun ketahanan nasional dapat melalui pendekatan gatra yang terdiri dari gatra ideologi, gatra ekonomi, gatra politik, gatra sosial dan budaya, serta gatra pertahanan dan keamanan. Kondisi masing-masing gatra tersebut memengaruhi ketahanan nasional. Apabila gatra dalam keadaan baik, maka dapat dikatakan bahwa ketahanan nasional dalam kondisi baik. Namun, sebaliknya jika salah satu gatra dalam keadaan lemah, maka akan mempengaruhi kondisi ketahanan nasional.

Tidak hanya melalui pendekatan kelima gatra tersebut, membangun ketahanan nasional juga dapat dilakukan melalui pendekatan spasial geografis. Jika ketahanan seluruh provinsi baik, maka bisa dikatakan ketahanan nasional dalam keadaan baik. Dalam rangka untuk merumuskan ketahanan nasional, lanjut Agus, juga diperlukan kondisi trigatra, yaitu kondisi geografi, sumber kekayaan alam, dan demografi. Dalam membangun ketahanan nasional ada kriteria-kriteria yang harus diwujudkan dari teori-teori yang berasal dari disiplin ilmu masing-masing gatra. “Teori itu harus bisa kita wujudkan dalam bentuk kebijakan publik,” kata Agus.

“Semua harus bertujuan pada konsensus dasar,” tutur Agus. Pada kesempatan tersebut, Agus menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi memang membebaskan perbedaan pendapat, namun pendapat yang ada harus berdasar pada konsensus dasar kebangsaan. Kebijakan yang berangkat dari luar konsensus dasar bangsa dapat dicurigai sebagai niat untuk mengganggu konsensus dasar kebangsaan. “Ini yang terpenting, yaitu konsensus dasar sebagai dasar etika berbangsa dan bernegara,” ujar Agus.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749