Lemhannas RI Bekerja Sama dengan KPK Sosialisasikan Budaya Anti-Gratifikasi di Lingkungan Lemhannas RI

Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Bekerja Sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelenggarakan Sosialisasi terkait Budaya Anti-Gratifikasi di lingkungan Lemhannas RI secara daring pada Selasa, (06/04).

“Inspektorat Lemhannas RI berperan sebagai koordinator area perubahan penguatan pengawasan merasa perlu menyelenggarakan sosialisasi gratifikasi lingkungan Lemhannas RI. Pengendalian gratifikasi merupakan bagian dari upaya pencegahan korupsi,” ujar Inspektur Lemhannas RI Brigjen Pol Drs. Gusti Ketut Gunawa, M.M., CfrA. membuka kegiatan sosialisasi.            

“Gratifikasi dapat mendorong pejabat negara bersifat tidak objektif atau tidak profesional, sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik”, tutur Gusti. Menyadari hal tersebut, maka seluruh personel di Lemhannas RI perlu meningkatkan pemahaman tentang gratifikasi, salah satunya melalui kegiatan sosialisasi tersebut.

Menurut penjelasan pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma- cuma, dan fasilitas lainnya.

Definisi di atas menunjukkan bahwa gratifikasi sebenarnya bermakna sebagai pemberian yang bersifat netral. “Gratifikasi, walaupun bersifat netral, termasuk dalam 7 kelompok korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001,” ungkap Pemeriksa Gratifikasi Madya KPK Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK Y. Sapto Prasetyo selaku narasumber.

Pada kesempatan tersebut, Sapto menyampaikan bahwa tidak semua gratifikasi dilarang, Terdapat empat karakteristik gratifikasi yang tidak harus dilaporkan. Karakteristik pertama, yaitu berlaku umum, atau suatu kondisi pemberian yang diberlakukan sama dalam hal jenis, bentuk, persyaratan atau nilai, untuk semua peserta dan memenuhi prinsip kewajaran atau kepatutan. Kedua, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, dipandang sebagai wujud ekspresi, keramah-tamahan, penghormatan dalam hubungan sosial antar sesama dalam batasan nilai yang wajar. Keempat, merupakan bentuk pemberian yang berada dalam ranah adat istiadat, kebiasaan, dan norma yang hidup di masyarakat dalam batasan nilai yang wajar.

Lantas bagaimana suatu gratifikasi dinilai ilegal atau dilarang? Sapto menjelaskan bahwa gratifikasi menjadi ilegal apabila berhubungan dengan tugas dan jawaban penerima gratifikasi, dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut atau tidak wajar.

Beberapa contoh gratifikasi yang dilarang, yaitu terkait dengan pelayanan pada masyarakat masyarakat di luar penerimaan yang sah; sebagai akibat dari perjanjan kerja sama/ kontrak/kesepakatan dengan pihak lain; sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama, atau setelah proses pengadaan barang dan jasa; dan lainnya.

Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkannya kepada KPK dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima. Adapun ketentuan sanksi yang ditetapkan pada Pasal 12 B ayat 2, yaitu pidana penjara dan denda, tidak berlaku apabila Pegawai Negeri atau Penyelengggaran Negara melaporkan gratifikasi yang diterimanya.

Dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka risiko terganggunya independensi, objektivitas, dan imparsialitas Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas di kemudian hari yang mungkin terkait dengan kepentingan pemberi dapat dieliminasi.

Dilansir dari Modul Gratifikasi KPK tahun 2021, pelaporan atas penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara merupakan salah satu indikator tingkat integritas. Semakin tinggi tingkat integritas seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, semakin tinggi tingkat kehati-hatian dan kesadaran yang diwujudkan dalam bentuk penolakan maupun pelaporan gratifikasi yang terpaksa diterima.

Dalam hal pengendalian gratifikasi, KPK memiliki 3 tahapan program, yaitu Pra-implementasi, Implementasi, dan Pasca-Implementasi. Pada tahap Pra-implementasi, terdiri dari komitmen dari pimpinan instansi, penyusunan aturan pengendalian gratifikasi, dan pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi. Pada tahap implementasi, yaitu pelaksanaan pengendalian gratifikasi itu sendiri yang dapat berupa rencana kerja pengendalian gratifikasi, diseminasi aturan internal terkait gratifikasi, pengelolaan laporan gratifikasi, pengelolaan objek gratifikasi, dan lainnya. Sedangkan pada tahap Pasca-implementasi, program yang dilaksanakan berupa monitoring dan evaluasi.

Untuk memudahkan Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara dalam melaporkan penerimaan dan penolakan gratifikasi, Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK menyediakan berbagai media pelaporan gratifikasi berbasis offline maupun online. Setidaknya terdapat 5 (lima) media yang dapat digunakan untuk menyampaikan laporan gratifikasi kepada KPK, yaitu: Formulir Gratifikasi (dapat diunduh pada laman https://www.kpk.go.id/), surat elektronik dengan alamat Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya., datang langsung ke layanan gratifikasi di Gedung Merah Putih KPK, aplikasi Gratifikasi Online (GOL) pada ponsel, dan situs https://gol.kpk.go.id. Personel Lemhannas RI dapat menyampaikan laporan gratifikasi kepada Unit Pengendalian Gratifikasi Lemhannas RI untuk kemudian diproses dan diteruskan kepada Tim Pelaporan Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK.



Hak cipta © 2024 Lembaga Ketahanan Nasional RI. Semua Hak Dilindungi.
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3451926 Fax. (021) 3847749